Selasa, 10 Juni 2014

Kamis, 20 Mei 2010

h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 1
”KORUPSI ILMU”
oleh:
Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi
HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia
Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera
Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji
Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil,
Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh
Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan
mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat,
sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih
sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi
permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan
politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan
menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai
Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA
menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-
Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji
Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan
Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan
ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi,
sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun,
tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 2
dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk
mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di
penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita
Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb
menghasilkan Fii Zhilalil Qur’an. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmu’ul Fatawa. Dan
Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama
pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama
adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham,
melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat
mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah
Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga
ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya,
kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam
Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu
Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya
menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan
fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung
jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama
kali – harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada
Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai
Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang
menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.”
(Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B.
Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga
sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 3
Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah
ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali
setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu
Ja’far al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-
Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan
oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus
shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa
meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau
terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat
cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah.
Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam
menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya
Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw:
”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.”
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh
tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan
dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan
panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.
Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh
dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din,
dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih
berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan
kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber
penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi
ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya
diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq)
sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 4
sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang
kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah
dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge).
Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah,
ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada
keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan
kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun
telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang
meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang
para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka
berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang
kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia
memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan
mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh
para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang
tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan
sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari
yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampuskampus
umum. Banyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu
keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab,
ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah
banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan
agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan
relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran
yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga
sebagai “corruption of knowledge’’ alias ”korupsi ilmu”. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat
akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 5
Rasulullah saw bersabda,”Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu
dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan
mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan
memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu
ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.
[HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang
paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam
berargumentasi (‘aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada
Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan
orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat
Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan
diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun
amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam
kondisi yang memprihatinkan. (***)
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 1
KONSEP ISLAM SEBAGAI AGAMA WAHYU
Oleh: H. Adian Husaini, MA ¨
Keimanan kepada Nabi Muhammad saw
Bagi umat Islam, beriman kepada Nabi Muhammad saw merupakan bagian dari rukun
iman (beriman kepada para nabi) dan sekaligus rukun Islam (membaca dua kalimah syahadat).
Dengan tegas dikatakan, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai mukmin atau muslim, jika dia
tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang
terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua:
“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau
menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.”
(HR Muslim).
Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda:
“Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji
ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Karena itu, tidak ada Islam jika tidak ada keimanan terhadap kenabian Muhammad saw.
Keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah kunci bagi seluruh keimanan yang lain. Sebab,
Allah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui para utusan-Nya. Dan Nabi
Muhammad saw adalah utusan Allah yang terakhir, la nabiyya ba’dahu, tidak ada nabi lagi
setelah Nabi Muhammad saw. Dalam al-Quran dikatakan, tujuan diciptakannya manusia adalah
untuk beribadah kepada Allah. (QS 51:56). Adalah Nabi Muhammad saw yang mengenalkan
kepada kita, siapa Tuhan kita dan bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Melalui Nabi
Muhammad saw kita memahami wahyu Allah tersebut. Nabi Muhammad lah yang menjelaskan
kepada kita bagaimana kita shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Karena itulah, keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah kunci atau pintu masuk
dari seluruh aspek keimanan dalam Islam. Kita tidak dapat mengenal nama Allah, sifat-sifat-
Nya, dan cara menyembah-Nya dengan benar, kecuali melalui utusan-Nya yang terakhir, yaitu
Nabi Muhammad saw. Maka, syahadat Islam berbunyi: ”Saya bersaksi tidak ada tuhan selain
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Tanpa beriman kepada
Nabi Muhammad saw dan wahyu yang dibawanya, melalui manusia paling-paling hanya
sampai menjadi deis, mengakui adanya Tuhan, mengakui bahwa Tuhan itu satu! Tetapi,
manusia tidak akan pernah bisa mengenal siapa Tuhan itu, siapa Dia, siapa Nama-Nya,
bagaimana sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara manusia menyembah-Nya.
Oleh sebab itu, dalam dakwah-Nya ke seluruh penjuru dunia, Nabi Muhammad saw
senantiasa mengajak manusia untuk masuk Islam, memeluk agama Islam, dengan mengakuinya
sebagai utusan Allah. ”Akuilah, bahwa aku ini adalah utusan Allah,” kata Nabi saw kepada
umat manusia. Sebab, memang tidak mungkin manusia bisa mengenal dan menyembah Allah
¨ Peneliti INSISTS; Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 2
dengan benar, kecuali dengan mengakui dan mengimani Muhammad saw sebagai utusan Allah
SWT.
Islam: satu-satunya agama wahyu/samawi
Setelah wahyu Allah SWT sempurna diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka
Allah menegaskan, bahwa ”Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku
cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS 5:3).
Ayat ini secara tegas menyebutkan, bahwa ”Islam” adalah agama yang diridhai oleh
Allah. Dan kata ”Islam” dalam ayat ini adalah menunjuk kepada nama agama yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan, secara tegas, nama agama ini diberi
nama ”Islam” setelah sempurna diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni
Nabi Muhammad saw. Para pengikut nabi-nabi sebelumnya diberi sebutan sebagai
”muslimun”, tetapi nama agama para nabi sebelumnya, tidak secara tegas diberi nama ”Islam”,
sebagaimana agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun, semua agama
yang dibawa oleh para nabi mengandung inti ajaran yang sama, yakni ajaran Tauhid.
Namun, agama-agama para nabi sebelumnya, saat ini sudah sulit dipastikan
keotentikannya, karena sudah mengalami tahrif (perubahan-perubahan) dari pemeluknya.
Karena itulah, harusnya pengikut para nabi sebelumnya, seperti kaum Yahudi dan Nasrani, juga
mengimani Muhammad sebagai nabi Allah SWT, sehingga mereka dapat mengenal Allah dan
memahami bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi
maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia
mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi
penghuni neraka.” (HR Muslim)
Nabi Muhammad saw juga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non
muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja
Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. ( Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan
Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).
Karena Islam memelihara kontinuitas wahyu mulai Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi
Muhammad saw, maka Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan Allah SWT kepada
umat manusia. Karena itu, Islam bisa dikatakan sebagai satu-satunya agama wahyu (revealed
religion). Ini bisa dilihat dari berbagai indikator:
Pertama, diantara agama-agama yang ada, hanya Islam-lah yang namanya secara
khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para
pengamat keagamaan atau oleh manusia, seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik
(Katolikisme), agama Protestan (Protestantisme), agama Budha (Budhisme), agama Hindu
(Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme), dan sebagainya. Sedangkan Islam tidaklah
demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd
saw, sudah disebutkan ada dalam a-Quran:
"Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam." (QS 3:19).
"Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di
akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).
Kepada orang-orang kafir, kaum Muslim juga diperintahkan untuk mengungkapkan:
"Lakum dinukum waliya din", bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kata-kata "Islam" dalam
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 3
ayat-ayat tersebut menunjuk kepada satu nama agama tertentu, dan bukannya sebuah sebutan
untuk satu sikap pasrah kepada Tuhan (submission to God). Selama ratusan tahun, kaum
Muslim tidak pernah mempersoalkan, bahwa Islam adalah nama sebuah agama yang dibawa
nabi Muhammas saw. Istilah 'Islam' meskipun secara bahasa berarti "pasrah " bukan berarti
Islam hanya diartikan sebagai "sikap pasrah kepada Tuhan semata", tanpa melihat cara pasrah
kepada Tuhan. Karena Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, maka Islam juga mengajarkan "cara pasrah" yang benar kepada Allah SWT.
Cara pasrah, atau cara ibadah, tidak boleh dikarang-karang oleh manusia. Tetapi, menurut
Islam, cara ibadah haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah SWT yang disampaikan
melalui utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad saw.
Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana konsep Islamic worldview
yang ditandai dengan karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang
Tuhan, menurut Prof. Naquib al-Attas1, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep
Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Quran yang juga bersifat otentik
dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan
konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern 2 atau pun dalam
tradisi mistik Barat dan Timur. 3
1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995),
hal. 3-7.
2 Prof. Frans Magnis Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, merangkum tantangan
modernitas terhadap keimanan dan 'konsep Tuhan ' agama-agama: "Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan
di Eropa sejak abad ke-17 mulai meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke-16 sudah menolak banyak
klaim Gereja. Dalam abad ke-17 empirisisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada
pengalaman inderawi. Pada akhir abad ke-18 muncul filosof-filosof materialis pertama yang mengembalikan
keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi-duniawi. Dalam abad ke-19
dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feurbach, Marx, Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada
saat yang sama ilmu-ilmu pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan. Pengetahuan ilmiah dianggap harus
menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20, filsafat untuk sebagian besar menyangkal
kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin
tersingkir oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang
ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali. Maka apabila seseorang, atau sekelompok orang, tetap yakin
akan adanya Tuhan, mereka mau tak mau harus menghadapi tantangan skeptisisme modernitas itu." (Lihat, Frans
Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 44-45.
3 Dalam konsep agama Budha, misalnya, seorang Buddhis memiliki enam keyakinan yang disebut Sad-saddha,
yang terdiri dari keyakinan tentang adanya: (1) Tuhan Yang Maha Esa (2) Tri Ratna (3) Bodhisattva, Arahat dan
para Buddha, (4) Hukum Kasunyatan (5) Kitab Suci Tri Pitaka, dan (6) Nirvana. Buddha tidak menyebut nama
Tuhannya dengan sebutan tertentu. Tentang "Tuhan Yang Maha Esa" tidak dijelaskan nama-Nya secara khusus.
Dalam buku Be Buddhist Be Happy, misalnya, ditulis: "Seorang umat Buddha meyakini adanya Tuhan Yang Maha
Esa yang dikenal dengan sbeutan: "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya: Sesuatu yang tidak
dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha Esa di dalam agama Buddha
adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa
pun. Hal ini diungkapkan dalam Kitab Suci Udana VIII ayat 3. Seorang Buddhis meyakini Tuhan Yang Maha Esa
sebagai yang mendasari kehidupan dan alam semesta, dan juga sebagai tujuan atau cita-citanya yang tertinggi atau
tujuan hidup akhirnya, yakni yang akan dipahami sepenuhnya bila telah tercapai Nirvana." (Lihat, Jo Priastana, Be
Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005), hal. 28-29.
Agama Hindu, disamping memiliki konsep ketuhanan yang khas. Tentang Hindu, Alain Danielou, menulis dalam
bukunya, Gods of India: Hindu Polytheism, (Neww York: Inner Traditions International, 1985): "Hinduism, or
rather the "eternal religion" (sanata dharma), as it calls irself, recognizes for each age and each country a new
form of revelation and for each man, according to his stage of development, a different path of realization, a
different of worship, a different morality, different rituals, different gods." (hal. x). Kaum Hindu Bali menyebut
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 4
Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-
321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan:
"Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa
syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa dimadrasah-madrasah Ibtidaiyah --
ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil
ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan
yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan
yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam al-Quran. 4
Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw –
maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam
juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah
Allah. Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena
menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw.
Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah5, karena nama itu
Tuhan Yang Maha Esa sebagai "Ida Sang Hyang Widhi Wasa", sedangkan kaum Hindu India lebih suka menyebut
"Brahman".
4 Salah satu syarat qiraah yang sahih dalam al-Quran adalah bahwa bacaan itu harus ditetapkan berdasarkan sanad
yang mutawatir atau shahih, bukan berdasarkan spekulasi akal. Qiraat ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya
sampai kepada Rasulullah saw. Karena itu, ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Lam ha (Allah), orang Islam
pasti akan membaca dengan "Alloh", bukan "Allah". Ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Mim, maka akan
dibaca dengan "Alim Lam Mim" dengan panjang pendek tertentu. Tentang ilmul Qiraat bisa dilihat dalam berbagai
Kitab Ulumul Qur'an. Ali As-Shabuni, misalnya, menulis bahwa qiraat "tsabitatun bi asanidiha ila Rasulillahi
shallallahu 'alaihi wa sallam". (Lihat, Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Quran, (Beirut: Darul
Irsyad, 1970), hal. 249). Tradisi Islam dalam qiraat berdasarkan sanad ini sangat menarik jika dibandingkan
dengan tradisi Yahudi-Kristen yang tidak mengenal 'sanad' sehingga mereka kehilangan jejak untuk menentukan
bagaimana membaca satu manuskrip, termasuk dalam mengucapkan nama Tuhannya.
5 Spekulasi tentang nama Tuhan dilakukan oleh kaum Yahudi. Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama
Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan
mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The
God of Judaism as the’ tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews,
God’s name is never articulated ,least of all in the Jewish liturgy." (Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford
Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).
Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa "kata nama yang paling penting dalam PL ialah יהוה (yhwh), nama Allah Israel,
yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin dulu diucapkan “Yahweh”, tetapi menurut
tradisi Yahudi , nama yang Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran
perintah ketiga (“Jangan menyebut nama , יהוה Allahmu ,dengan sembarangan…” (Kel, 20:7). Oleh sebab itu ,
setiap kali terdapat kata יהוה dalam Alkitab, orang Yahudi membacanya dengan kata) אדני adonay’ (Tuhan) “.‘
(Dr. D.L. Baker et.al ,.Pengantar Bahasa Ibrani ,Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.)
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama
Tuhan yang beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut
"Alloh" sama dengan orang Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum
Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord". Ini juga yang kemudian dibawa dalam berbagai
terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris.
Karena tidak memiliki tradisi sanad dan adanya problem otentisitas Kitab Sucinya, maka kaum Yahudi
tidak tahu dengan pasti bagaimana cara melafazkan nama Tuhannya yang semuanya tertulis dalam empat huruf
mati 'YHWH'. Tentang problem otentisitas Kitab Suci Yahudi – yang juga dijadikan oleh kaum Kristen sebagai
Perjanjian Lama-nya – Th. C. Vriezen menulis:
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 5
sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui al-Quran, dan diajarkan langsung cara
melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha
Kuasa6, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun
sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya
spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU,
tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS
112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" --
Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini juga
bersifat final dan tidak mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw sampai Hari Kiamat.
Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda –
juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. 7 Karena itu, umat Islam
praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen
Armstrong menulis dalam bukunya:
"al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai
zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau
dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya
merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim
memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." 8
”Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara
bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang
atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah
satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun,
ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam
naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal
(asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” (Th.C.Vriezen ,Agama Israel Kuno, (Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 2001), hal. 7.
Richard Elliot Friedman juga menulis: ”It is a strange fact that we have never known with certainty who
produced the book that has played a central role in our civilization… Five Book of Moses… It is one of the oldest
puzzles in the world) “.Richard Elliot Friedman ,Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989)
6 Karena dalam konsep Islam Allah adalah nama diri dari Dzat Yang Maha Kuasa, maka seharusnya, lafaz Allah
dalam al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau
"Lord". Beberapa terjemahan al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya,
Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God". Begitu
juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan
dengan "Say: He is God, the One and Only", juga ayat " Innaniy Anallahu La ilaha illa Ana fa'budniy wa aqimish
shalata li dzikriy" juga diterjemahkan "Verily, I am God: there is no god but I; so serve thou Me (only) and
establish regular prayer for celebrating My praise." (QS 20:14).
7 Bandingkan konsep dan teks syahadat Islam ini dengan syahadat Katolik: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa
Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus
Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui
dia segala sesuatu menjadi ada…” Syahadat ini mengalami perubahan dari waktu ke waktu. (Norman P. Tunner,
Konsili-konsili Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 36-37)
8 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), (Bandung: Mizan, 2001), hal. 199-200.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 6
Konsep Tuhan dalam 'Pluralisme Agama'
Majelis Ulama Indonesia, pada tahun 2005 telah resmi mengeluarkan fatwa, bahwa
paham Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam
memeluknya. Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan
yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua
agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Tuhan – siapa pun nama-Nya
– tidak menjadi masalah. Tokoh Pluralis Agama, Prof. John Hick, lebih suka menyebutnya
"The Eternal One". Tuhan inilah yang menjadi tujuan dari semua agama. Seorang tokoh
Yahudi, Claude Goldsmid Montefiore, dalam The Jewish Quarterly Review, tahun 1895,
menulis: "Many pathways may all lead Godward, and the world is richer for that the paths are
not new."9
Bagi kaum Pluralis – seperti disebutkan dalam makalah Pengantar Kuliah Umum –
siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena mereka memandang, agama adalah
bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah,
apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan,
bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya.
Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:
"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang
sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari
berbagai Agama." 10
Dr. Jalaluddin Rakhmat juga menulis:
“Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi,
kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan
perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.” 11
Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu
Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di
kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai
nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama
Tuhan' secara khusus. 12 Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau
9 John Hick, God Has Many Names, (Pennsylvania: The Westminter Press, 1982), hal. 40-45.
10 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.,
11 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), hal.
34.
12 Masalah nama Tuhan dalam Kristen merupakan satu masalah yang cukup rumit. Berbeda dengan konsep Islam,
dimana Allah adalah 'sebuah nama', kaum Kristen di Indonesia masih memperdebatkan soal nama Tuhan mereka.
Di Arab, kaum Kristen ada yang menyebut Tuhan mereka dengan sebutan 'Alloh', sama dengan orang Islam. Di
Indonesia menyebut 'Allah'. Di Barat menyebut God atau Lord. Di Indonesia, kini muncul aliran Kristen yang
menolak penggunaan nama Allah dan menggantinya dengan Yahweh. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen
yang menemakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar
kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua
Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah
adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan
nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 7
menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka. Kaum musyrik dan Kristen Arab
memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu
juga kemudian digunakan oleh al-Quran.13 Tetapi, perlu dicatat, bahwa al-Quran menggunakan
kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah
salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karena itu,
mereka melakukan tindakan syirik. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam,
telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah,
Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum
musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara
bergantian. Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama
dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw
akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.
"Katakan, hai orang-orang kafir!
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).
QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun
namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bias
dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga
menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang
mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masingmasing.
Argumentasi kaum Pluralis Agama -- bahwa "semua agama adalah jalan yang samasama
sah menuju Tuhan yang sama" – jelas-jelas juga pendapat yang bathil. Jika semua jalan
adalah benar, maka tidak perlu Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berdoa "Ihdinash
shirathal mustaqim!" (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah
disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya orang-orang
mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti
dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok
Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan
Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya
nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen lihat
I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah,
(Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-
3).
13 Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan
bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87). Karen Armstrong menyebut, ketika Islam
datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit,
hal. 190).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 8
yang dimurkai Allah dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah
lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok dan jalan yang sesat. 14
Lagi pula, jumlah agama di dunia ini begitu banyak, ribuan jumlahnya. Agama yang
manakah yang dimaksud oleh kaum Pluralis itu sebagai agama yang benar? Apakah kaum
Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bisa membenarkan semua agama benar --
termasuk agama Gatholoco dan Darmogandhul yang jelas-jelas melakukan pelecahan terhadap
Allah dan Nabi Muhammad saw? Perkataan "semua agama benar" atau "semuanya benar" juga
tidak secara konsisten diikuti oleh penganjur paham Pluralisme Agama, karena pada saat yang
sama, mereka juga merasa benar sendiri, dan menyalahkan para pemeluk agama yang meyakini
kebenaran agamanya masing-masing.
Tantangan iman
Setiap orang yang mengaku beriman, pasti diuji oleh Allah. Ada yang lulus ujian iman,
ada juga yang gagal. Yang gagal berarti batal imannya, alias murtad. (QS 29:2-3). Dalam Kitab
Sullamut Tawfiq – yang biasa dikaji di madrasah Ibtidaiyah dan Pondok-pondok pesantren,
disebutkan, bahwa adalah kewajiban setiap Muslim untuk menjaga Islamnya dari hal-hal yang
membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam Kitab ini, bahwa ada tiga jenis
riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan.
Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap
Nabi Muhammad saw, atau ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga,
neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya. 15
Seperti disebutkan sebelumnya, Ulama India Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi
menyebutkan, bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, sepeninggal
Rasulullah saw, adalah tantangan yang diakibatkan oleh peradaban Barat, yang materialis,
sekular dan liberal. 16 Sebab, tantangan ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar
dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman dan kemurtadan. Dalam pandangan Islam, murtad
(batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah
pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko
pemurtadan bagi seorang Muslim.
14 Dalam Sunan Tirmidzi bab Tafsir al-Quran 'an Rasulillah hadits No. 2878 dan Musnad Imam Ahmad hadits No
18572 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "al-maghdhub" adalah "al-yahuud" dan "al-dhallin" adalah "alnashara".
15 Lihat Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim, Sullamut Tawfiq, (cetakan Toha
Putra, Semarang, tanpa tahun), hal. 5-6.
16 Abul Hasan Ali an-Nadwi, menyatakan, gelombang modernisme peradaban Barat ke dunia Islam, merupakan
ancaman terbesar dalam bidang pemikiran dan keimanan. Dia mengungkapkan: “… di saat sekarang ini selama
beberapa waktu dunia Islam telah dihadapkan pada ancaman kemurtadan yang menyelimuti bayang-bayang di
atasnya dari ujung ke ujung…Inilah kemurtadan yang telah melanda muslim Timur pada masa dominasi politik
Barat, dan telah menimbulkan tantangan yang paling serius terhadap Islam sejak masa Rasulullah saw…Filsafat
materialistis Barat ini tak diragukan lagi adalah “agama” terbesar yang diajarkan di dunia setelah Islam. Ia
adalah agama terbesar dipandang dari sudut keluasan bidangnya; agama yang paling mendalam dipandang dari
sudut kedalaman tancapan akarnya… bahwa kemurtadan-kemurtadan macam inilah yang pada masa sekarang
melanda dunia Islam dari ujung satu ke ujung yang lain. Ia telah melancarkan serangan gencarnya dari rumah ke
rumah dan dari keluarga ke keluarga. Sekolah-sekolah dan universitas semua telah dibanjiri dengannya. Hampir
tak ada keluarga yang masih beruntung tak memiliki anggota yang menganut kepercayaan ini. (Abul Hasan Ali
An-Nadwi, ‘Ancaman Baru dan Pemecahannya’ dalam buku Benturan Barat dengan Islam, (Bandung: Mizan,
cetakan ke-4,1993), hal. 13-19).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 9
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran,
Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar,
yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya.” (an-Nur:39).
Dalam kondisi seperti ini, dimana virus-virus perusak aqidah – seperti paham
Pluralisme Agama yang jelas-jelas merupakan paham syirik -- bergentayangan secara bebas,
maka tidak ada jalan lain bagi setiap Muslim untuk membentengi imannya dan keluarganya,
kecuali dengan meningkatkan keilmuan Islam yang kokoh sehingga mampu menangkal
serangan berbagai virus aqidah yang kini bergentayangan bebas di sekeliling kita. Wallahu
a’lam. (Depok, 15 Rabiulawwal 1428 H/3 April 2007).